Detail Cantuman Kembali

XML

ANALISIS MAKNA MENDIRIKAN SHALAT DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN (Studi Komparatif Tafsīr Al-Misbaḥ karya M. Quraish Shihab dengan Tafsīr Munir Karya Syekh Nawawī AlBantanī)


Shalat merupakan suatu ibadah yang harus diperhatikan baik secara dzahir
maupun bathinnya. shalat dapat menuntun pelakunya untuk menjadi yang terbaik,
sehingga bagi orang yang shalatnya sempurna akan tercermin dalam kehidupannya
sifat-sifat mulia. Meskipun shalat merupakan kegiatan ibadah rutin, namun
mayoritas umat Islam yang mengerjakan salat belum mengerti esensi dari shalat itu
sendiri, bisa juga dikatakan sebenarnya belum mendirikan shalat. Realitanya, orang
yang shalat itu banyak, akan tetapi tidak menegakkannya. Mereka melaksanakan
salat, tetapi tidak mendirikan salat.
Berkenaan dengan shalat, maka peneliti memilih ayat Al-Qur’an sebagai
alat analisis dan peneliti memilih Tafsīr Al-Misbaḥ karya M. Quraish Shihab dan
Tafsīr Munir Karya Syekh Nawawī Al-Bantanī untuk mengetahui secara mendalam
bagaimana makna mendirikan shalat dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk
memudahkan dalam penelitian ini maka peneliti merumuskan pokok peramasalahan
yakni bagaimana mengetahui makna mendirikan shalat dalam Al-Qur’an?
bagaimana M. Quraish Shihab dan Syekh Nawawī Al-Bantanī memaknai ayat
tentang mendirikan sholat? bagaimana implikasi mendirikan sholat dalam
kehidupan? Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) yaitu dengan
menganalisis data primer yang digunakan peneliti yakni Tafsīr Al-Misbaḥ dan
Tafsīr Munir serta berbagai literature berupa karya ilmiah yang berkaitan dengan
mendirikan shalat sebagai data sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif dengan pendekatan descriptive-analisys dan separated
comparative metode (perbandingan).
Hasil dari penelitian ini ditemukan kesimpulan bahwa makna mendirikan
sholat yang ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dan Syekh Nawawī Al-Bantanī
terdapat persamaan dan perbedaan, dalam menjelaskan kata aqīmū, kedua mufassir
ini sama-sama sepakat mengenai bahwa kata aqīmū yaitu melakukan shalat dengan
sempurna dan berkesinambungan. Walaupun keduanya sama-sama sepakat, ada
perbedaan penafsiran yaitu dalam menafsirkan surat al-baqarah ayat 43, Quraish
Shihab menjelaskan bahwa aqīmū harus disertai dengan penghayatan yang
dihadirkannya hati, sehingga sempurna rukunnya, sempurna syaratnya, sempurna
khusyuknya, sempurna sunah-sunahnya. Namun, secara umum perbedaan yang jelas
yaitu M. Quraish Shihab menjelaskan lebih rinci sedangkan Syekh Nawawī AlBantanī secara ringkas. Ditambah Corak yang digunakan oleh M. Quraish Shihab
ialah menggunakan metode tahlili, menganalisis setiap lafadz dari segi aspek bahasa
maupun makna, sedangkan Syekh Nawawī Al-Bantanī menggunakan corak bi alra’yi yang lebih khusus bernuansa sufi dan menggunakan corak bi al-riwayah.
SKRIPSI IAT 484
2x1.3
Text
Indonesia
2022
Serang Banten
xxii + 83 hlm.; 18 x 25 cm
LOADING LIST...
LOADING LIST...