Detail Cantuman Kembali

XML

PANDANGAN MUFASSIR KLASIK DAN MODERN TENTANG POLIGAMI (Komparasi Tafsir Ma’alim at-Tanzil dan Marah Labid)


Permasalah yang selalu hangat untuk didiskusikan di kalangan para puqaha dan para ahli tafsir ialah pembahasan poligami. Poligami sendiri selalu menjadi perdebatan yang hangat, baik dalam tinjauan hukum agama maupun dalam fakta sosial.
Sejalan dengan hal di atas, maka penelitian ini akan fokus pada rumusan masalah 1.Bagaimana pandangan mufassir klasik dalam menafsirkan ayat poligami? 2.Bagaimana pandangan mufassir modern dalam menafsirkan ayat poligami? 3.Bagaimana pandangan mufassir klasik dan modern dalam menafsirkan ayat poligami?. Adapun yang menjadi tujuan penelitian untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat poligami dalam Tafsir Ma’alim at-Tanzi@l dan Tafsir Marah Labid. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antar keduanya.
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, bersumber dari data primer dan sekunder. Sumber data primer diperoleh dari kitab tafsir Ma’alim at-Tanzil dan Marah Labid, adapun sumber data sekunder diperoleh dari kitab-kitab tafsir yang dianggap representataif. Pengkajian data yang berasal dari sumber data primer dimulai dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki hubungan terkait dengan konsep poligami, kemudian langkah selanjutnya, untuk mengumpulkan data dari sumber sekunder dilakukan dengan mengkaji pokok pikiran para mufassir yang dituangkan ke dalam kitab-kitab yang berkaitan dengan tema penelitian, untuk menemukan esensi tentang pandangan para mufassir klasik dan modern tentang poligami.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mufassir klasik dan modern (Al-Baghawi dan Syaikh Nawawi) membolehkan untuk berpoligami dengan syarat seorang suami dapat berlaku adil diantara para istrinya, dan batas menikahi perempuan pada dasarnya adalah seorang perempuan saja, akan tetapi jika seorang laki-laki memiliki kemampuan baik secara lahir maupun batin berupa harta benda yang mencukupi dan bahkan melebihi dari kecukupan nafkah para istri-istrinya dan mampu secara batin untuk melayani atau menggilir istrinya secara adil dan merata, maka diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk menikah lebih dari satu atau batas maksimal memiliki empat orang istri.
Nasrullah - Personal Name
SKRIPSI IAT 437
2x1.3
Text
Indonesia
2021
Serang Banten
xvii + 72 hlm.; 18 x 25 cm
LOADING LIST...
LOADING LIST...