Detail Cantuman Kembali

XML

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XVI/2018 TERHADAP KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA)


Asean China Free Trade Area (ACFTA) adalah sebuah perjanjian perdagangan internasional atau perdagangan bebas antara Negara ASEAN dengan China. Perjanjian tersebut dibuat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membuka kawasan bebas pasar dengan melakukan penurunan tarif bea masuk hingga 0%. ACFTA diratifikasi pada tahun 2004 melalui keputusan Presiden, yang tidak melibatkan DPR di mana aturan hukum tersebut tidak sesuai dengan UUD Tahun 1945. Selain itu, ACFTA menurut beberapa peneliti, kebijakannya merugikan kepentingan nasional, seperti merugikan industry dan perikanan di Indonesia, dengan melakukan eksploitasi dan liberalisasi, sehingga banyak masyarakat yang merasa dirugikan. Salah satu alasan tersebutlah yang melatar belakangi pengajuan Judicial Review Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 mengenai aturan hukum yang berlaku, yang mengujikan pasal 2, pasal 9 (2), pasal 10, dan pasal 11 (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan rumusan masalah, 1). Bagaimana problematika hukum pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018?. 2) Bagaimana hukum nasional mengatur keterlibatan DPR dalam perjanjian internasional pasca Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018? 3). Bagaimana respon Negara terhadap perdagangan internasional ACFTA di Indonesia yang tidak diratifikasi oleh DPR, apakah sesuai dengan progresivitasi hukum dan prinsip kedaulatan rakyat?
Penelitian ini bertujuan untuk, 1) Untuk mengetahui problematika hukum Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 yang tidak sesuai dengan Pasal 11 UUD Tahun 1945 yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018. 2) Untuk menjawab pengaturan hukum Indonesia terhadap keterlibatan DPR dalam perjanjian internasional pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 termasuk terkait perdagangan internasional ACFTA. 3). Untuk dapat mengetahui peran Negara dalam menyikapi perdagangan internasional ACFTA sebagai wujud dalam mencapai progresivitasi hukum serta pembangunan hukum dan ekonomi di bidang perdagangan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian library research (studi pustaka) dengan metode pendekatan yuridis normatif (perundang-undangan). Sumber hukum penelitian ini adalah sumber hukum primer, sekunder dan tersier.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan: 1). Jenis dan kriteria perjanjian internasional yang harus disetujui DPR yang disebutkan dalam pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000, di mana kriteria perdagangan dan investasi yang dinilai berdampak luas bagi masyarakat dan berkaitan dengan keuangan Negara tidak masuk dalam ketentuan pasal tersebut, sehingga beberapa perjanjian perdagangan internasional diratifikasi bukan oleh DPR termasuk Perjanjian ACFTA. 2). Berdasarkan pengujian yang dilakukan MK, Pasal 10 UU Perjanjian Internasional dianggap inkonstitusional yang bertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945. Sehingga membutuhkan perubahan hukum yang sesuai dengan konstitusi Negara. 3). Berdasarkan analisis mengenai perdagangan ACFTA termasuk pemaparan dari organisasi KIARA di Indonesia, dinilai bahwa banyak kebijakannya yang merugikan kepentingan nasional, sehingga tidak sesuai dengan progresivitasi hukum (kepastian, kemanfaatan dan keadilan) serta prinsip kedaulatan rakyat. Sehingga pemerintah membuat kebijakan sebagai upaya menghadapi ACFTA.
Yayah Heriyah - Personal Name
SKRIPSI HTN 280
327
Text
Indonesia
2022
Serang Banten
xii + 195 hlm.; 18 x 25 cm
LOADING LIST...
LOADING LIST...