Detail Cantuman Kembali
WAKAF MUAQQAT MENURUT IMAM SYAFI’I DAN IMAM ABU HANIFAH (Studi Komparatif)
Dalam masalah menentukan hukum wakaf Muaqqat (berjangka waktu) para
ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya wakaf muaqqat, diantaranya Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa wakaf harus bersifat
lazim artinya harta yang diwakafkan itu tetap. Sedangkan Imam Abu Hnifah
berpendapat wakaf bersifat ghairu lazim (tidak tetap) artinya harta yang sudah di
wakafkan masih menjadi milik wakif, sehingga wakif bisa menarik kembali harta yang
telah di wakafkan. Perbedaan pendapat tersebut bisa menimbulkan sebuah akibat hukum
yang berbeda-beda.
Perumusan masalahnya adalah: 1). Bagaimana Pendapat Imam Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah Tentang Hukum Wakaf Muaqqat? 2). Bagaimana Relevansi Hukum
Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah Tentang Wakaf Muaqqat Dengan
Undang-Undang Wakaf di Indonesia?
Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah tentang hukum wakaf muaqqat dan untuk mengetahui relevansi
hukum pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tentang wakaf Muaqqat dengan
undang-undang wakaf di indonesia.
Penulis menggunakan Metode penelitian kepustakaan (library research) dengan
pendekatan perbandingan (comparative study) yaitu penelitian yang menggunakan
teknik membandingkan suatu objek dengan objek lain. Pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan dekomentasi, yaitu
mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku-buku, artikel,
jurnal dan lain sebagainya. Pembahasan perbandingan ini dititik berartkan pada
persamaan dan perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tentang
wakaf muaqqat.
Adapun hasil dari penelitian pertama Imam Syafi’i berpendapat hukum wakaf
berjangka waktu itu tidak boleh karena Imam Syafi’i mensyaratkan wakaf itu harus
bersifat ta’bid (permanen) serta kepemilikan harta menjadi milik Allah oleh karena itu
wakif tidak memiliki kekuasaan atas harta benda yang di wakafkan akibatnya wakif
tidak bisa menarik kembali harta yang telah di wakafkan. Sedangkan Imam Abu
Hanifah membolehkan wakaf muaqqat karena beliau berpendapat bahwa wakaf itu
adalah akad tabarru gairu lazim (pelepasan hak yang tidak tetap) sehingga harta benda
wakaf masih dalam kekuasaan wakif seutuhnya, dan yang menjadi milik umum
hanyalah manfaatnya. Oleh karena itu pihak wakif bisa menarik Kembali harta benda
yang telah di wakafkan manakala sudah habis masa waktu yang di tetapkan
sebelumnya. kedua dari dua pendapat tersebut memiliki relevansi dengan undangundang yang berlaku di Indonesia sebagaimana di terangkan dalam pasal 1 UU Nomor
41 Tahun 2004 yang berbunyi Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan/ menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah/ kesejahteraan umum menurut syari’ah. Hal tersebut menggambarkan adanya
sebuah relevansi pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dengan UndangUndang wakaf yang berlaku
Hilmi Samsudin - Personal Name
SKRIPSI HKI 269
2x4
Text
Indonesia
2022
Serang Banten
xii + 121 hlm.; 18 x 25 cm
LOADING LIST...
LOADING LIST...