Detail Cantuman Kembali

XML

Peran perempuan dalam wilayah Al-Qadha(Kekuasaan kehakiman) Studi terhadap pandangan Imam Syafi’i


Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonsia. Hakim merupakan salah satu profesi yang sanggat urgen, karena harus menyelesaikan gugatan sengketa dan konflik yang terjadi antara manusia sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga syaratsyarat dan uji kelayakan untuk menjadi hakim harus ditegakkan, dalam wacana ini syarat-syarat kekuasaan kehakiman Islam dan kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia ada sedikit signifikasi perbedaan, yaitu masalah keabsahan perempan menjadi hakim, akan tetapi di dalam syariat Islam yang terbentuk dalam imam-imam mazhab juga memenuhi kontroversi. Bolehkah wanita menjabat sebagai hakim? Masalah ini termasuk yang di perselisihkan di kalangan para fuqaha. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana peran perempuan dalam wilayah al qadha (kekuasaan kehakiman)? 2) Bagaimana peran perempuan dalam wilayah al qadha (kekuasaan kehakiman) menurut Imam Syafi’i? Tujuan penelitian yang di gunakan ini adalah: 1. Untuk mengetahui peran perempuan dalam wilayah al qadha (kekuasaan kehakiman). 2. Untuk mengetahui peran perempuan dalam wilayah al qadha (kekuasaan kehakiman) studi pandangan imam syafi’i Adapun metode penelitian yang di gunakan ialah Deskriptif Analisis yakni pada Studi Kepustakaan (Library Reseach) dengan menelaah tentang peran perempuan dalam wilayah ( kekuasaan kehakiman ) studi terhadap pandangan Imam Syafi’i. Sedangkan data sekundernya adalah data yang biasanya untuk mendukung data primer baik dalam bentuk buku-buku, dokumen maupun dalam bentuk artikel. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: pertama, Peran perempuan dalam wilayah al qadha (kekuasaan kehakiman) kedudukan perempuan untuk dapat menjadi hakim lbnu Jarir membolehkan perempuan menjadi hakim untuk kasus apapun. Kedua, Peran perempuan dalam wilayah al qadha Menurut Imam Syafi’i, seorang perempuan tidak dapat menjadi hakim secara mutlak. Artinya, perempuan tidak boleh menjadi hakim, baik yang menangani hukum perdata ataupun pidana. Tentunya, pandangan tersebut berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang memberi kelonggaran terhadap hakim perempuan. Bagi Imam Abu Hanifah, hakim perempuan dibolehkan atau sah menjadi hakim bila ia hanya mengurusi hukum perdata. Adapun cara ijtihad yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam hal ini adalah qiyas. Dalam pandangan nya, Rasulullah Saw. Melarang perempuan menjadi pemimpin. Karena itu, perempuan tidak boleh menjadi hakim
Tuti Surliamurti - Personal Name
SKRIPSI HTN 149
SKRIPSI HTN 149
Text
Indonesia
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
2019
Serang Banten
21.5cm, 28cm, 95hlm
LOADING LIST...
LOADING LIST...